Apakah Buzzers are here to stay?

Pertanyaannya kemarin itu adalah, “Mas kenapa sih kan Pilpres udah berakhir, kenapa masih ada aja buzzer-buzzer nya?

Di artikel di bawah ini jawaban yang sempat saya sampaikan, tapi kayaknya ga masuk tertuliskan semua, jadi dalam rangka melengkapi saya coba tuliskan lagi di sini kenapa “buzzer” is here to stay.

1. Dunia yang berubah. Teknologi digital dan sosial media terbukti sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Di 2020 ini apalagi di masa Pandemi COVID-19 ini niscaya ketergantungan kita dengan teknologi digital makin tinggi, untuk hiburan, untuk informasi, untuk interaksi dan untuk komunikasi. Tergantung data mana yang mau dipercaya, tapi kurang lebih sudah > 50% populasi Indonesia terkonek ke Internet sekarang.

2. Dengan kenyataan (1) di atas, maka pertukaran informasi jadi sangat cepat dan multiarah, media sosial menjadi ruang publik (kayak alun-alun jaman dulu) di mana ide, opini dan kebijakan diperjuangkan, hidup dan mati, didukung atau dijatuhkan. Brand, organisasi, perusahaan, lembaga, institusi hingga tokoh, figur, selebritis semua berebut bukan saja panggung, tapi juga TOA hingga waktu agar apa yang mereka anggap penting juga kita anggap penting.

3. Dalam dunia demokrasi ide, pendapat, kritik, saran bahkan teriakan boleh disampaikan. Setuju boleh. Tidak setuju juga boleh. Kalau terasa gaduh maka ini konsekwensi dari kebebasan dan keterbukaan. Pertarungan ide dan pemikiran bukan saja boleh tapi dianjurkan dan dipercaya akan membawa kemanusiaan ke arah yang lebih baik. Dalam filosofi klasik, Dialektik, pertarungan terus menerus antara thesis, antithesis akan menghasikan sinthesis, pemikiran terbaik. Dan kita bisa berargumen bahwa di era digital, dialektik digital terjadi dalam kecepatan super cepat di relung-relung media sosial.

4. Lalu selain ide dan pemikiran terbaik, yg mungkin kadang-kadang sulit utk dibuktikan, adakah faktor lain yang bisa membuat kita “memenangkan perang opini” di media sosial? Di sini kita bicara tentang bagaimana mengelola isu, mengelola informasi dan mengelola agar pesan yang kita inginkan untuk menyebar bisa tersebar dan diketahui dengan baik. Di sini maka kemudian, for the lack of better word, “buzzer” diperlukan. Bukan satu-satunya metode/taktik yang bisa digunakan oleh para pengambil kebijakan dan praktisi komunikasi, tapi memang salah satu yang bisa dipergunakan sebaik-baiknya.

5. Dan siapa yang kemudian mempergunakan “buzzer” ini? Semua pihak yang membutuhkan untuk bisa memenangkan perang opini tadi, dialektik tadi. Pemerintah, oposisi, partai politik, perusahaan, brand, NGO, civil society, butuh mengerti dan bisa mengelola apa yang terjadi di media sosial, supaya idenya diperhatikan, agar pemiikiran dan opini nya diterima dan kebijakannya bisa terlaksana.

Jadi itulah jawaban kenapa, walau pilpres sudah berakhir, “buzzer-buzzeran” akan tetap ada dan tidak akan kemana-mana.

Posting diatas adalah tambahan dan dipicu dari artikel di bawah ini:

Merdeka.com – Buzzer Dianggap Dibutuhkan di Era Digital Saat ini https://www.merdeka.com/peristiwa/buzzer-dianggap-dibutuhkan-di-era-digital-saat-ini.html

Click Activism vs No Activism

clickactivism In order to create something you first have to be able to create nothing — Werner Erhard

Kalau teman-teman menyempatkan diri ke Kopdar Akbar Akademi Berbagi, tanggal 12 Mei lalu, dalam rangka 1 tahun AKBER, begitu AkademiBerbagi.org biasa disebut maka teman-teman akan bertemu dengan para kepala sekolah, guru dan murid serta para pendukung #akber yang kini sudah berada di 14 kota di Indonesia dan bertambah terus kegiatannya.

Hal lain yang juga menarik di acara tersebut, selain pemutaran film dokumenter Linima(s)sa hasil produksi InternetSehat tentang kehidupan dan dampak media sosial serta Internet di akar rumput masyarakat Indonesia adalah juga paparan hasil riset Mas Yanuar Nugroho dari University of Manchester yang thesis PhD-nya meneliti tentang transformasi civil society mengambil kasus di Indonesia.

Malam tersebut Mas Yanuar berkesempatan memaparkan hasil penelitian terbarunya dengan judul Citizens in @ction, yang berinisiatif memetakan aktivisme masyarakat sipil terbaru yang menggunakan media sosial di Indonesia, sebuah inisiatif dan pilihan topik yang sangat kita butuhkan karena diskusi tentang ini masih sangat minim baik dari para penggiat media sosial maupun dari kalangan akademisi yang mencoba menarik pola dan belajar dari gerakan-gerakan yang ada. Saya sarankan agar laporan penelitian yang tersedia secara online itu diunduh dan dibaca dengan seksama.

Salah satu kesimpulan diakhir penelitian adalah tentang pertanyaan tentang “click activism” vs real engagement, saya kutip dibawah:

7.2. Does agency matter? Real engagement v. ‘click activism’ … This is important because there is a wide gap between clicking the button ‘Like’ or ‘Attending’ in a Facebook page or invitation for a rally or public meeting, and spending time and effort to really join the rally or the meeting – be it on a hot sunny day, or a wet rainy one. Similarly, by clicking ‘Forward’ after reading a moving or touching email pledging for participation or donation, people can feel they have done something. Indeed, they have – forwarding the email. But there is a huge difference between forwarding an email and directly participating in an event, or donating goods or money. In other words, we have to be aware of the distinction between real engagement and what we term here ‘click activism’….

Follow up dari bahasan ini juga kemudian naik dan di bahas di Detik “Waspadai Kelahiran ‘One Click Activism‘” dimana juga kembali “click activism” dipertanyakan

…Jangan-jangan orang berpikir hanya dengan menekan sebuah tombol ‘like’ di Facebook, ia sudah merasa bisa ‘mengubah dunia’, dengan jutaan orang yang melakukan hal yang sama. Padahal realisasi aktivitas tersebut hanya dilakukan segelintir orang saja. Inilah yang dikhawatirkan dalam sebuah aktivisme sipil melalui media sosial di Indonesia. Kelahiran gerakan 1 klik, atau ‘one click activism’ akan sia-sia tanpa realisasi yang nyata….

Kritik yang senada dan perdebatan tentang apakah gerakan media sosial adalah gerakan nyata yang punya bobot yang sama dengan aktivisme old school bukan baru saja muncul. Kelanjutan dengan realisasi yang nyata, walaupun penting seringkali juga diartikan bahwa gerakan yang hanya sekedar berada di online saja, sebatas twitter #hashtag atau Facebook Page, punya makna yang lebih sedikit daripada kehadiran di jalan dengan ikat kepala, atau ikut berteriak di persidangan.

Yang real adalah yang bisa berkeringat yang bisa berdarah.

Walaupun kehadiran di dunia nyata penting dalam sebuah gerakan digital, memberikan validasi dan konteks, mengikat tingkat partisipasi lebih dari para pengikutnya, serta mensemenkan para pemimpinnya, tidak kurang juga nilai kontribusi dari para click activists yang telah ikut menyemarakkkan sebuah gerakan, baik sebagai followers maupun sebagai sebuah fans dari sebuah Facebook Page.

Kemampuan dan batasan-batasan waktu, tempat, dana yang ada membuat kita semua punya respon yang berbeda terhadap masing-masing seruan. Dan ini khususnya benar terutama pada teman-teman yang masih muda, pengguna terbesar dari media sosial di Indonesia dimana 90% dari pengguna Internet Indonesia berada di usia di bawah 35 tahun.

Tidak semua orang bisa hadir setiap saat dalam rapat-rapat koordinasi atau unjuk rasa di jalan. Tidak semua kita bisa ikut menyumbangkan uang.

Tidak semua kita punya waktu untuk hadir menunjukkan dukungan.

Tapi bentuk dukungan digital, baik dengan follow, likes, retweet, invites, email, sms, BBM tidak kurang nilainya, tidak lebih rendah posisinya. Click activists adalah aktivis-aktivis baru yang memainkan permainan dengan aturan baru.

Perdebatan kekuatan media sosial dalam sebuah gerakan sosial juga terjadi antara Malcolm Gladwell dan Clay Shirky di ForreignAffairs.com, dalam hal ini kasus revolusi di Afrika Utara (Tunisia, Mesir) yang dimulai dan menyandang gelar Revolusi Facebook. Mengutip Shirky:

…The competitive landscape gets altered because the Internet allows insurgents to play by different rules than incumbents…. Do social media allow insurgents to adopt new strategies? And have those strategies ever been crucial? Here, the historical record of the last decade is unambiguous: yes, and yes.

Digital networks have acted as a massive positive supply shock to the cost and spread of information, to the ease and range of public speech by citizens, and to the speed and scale of group coordination. … these changes do not allow otherwise uncommitted groups to take effective political action. They do, however, allow committed groups to play by new rules

Social media allow fast form action groups to play by new rules.

Seperti Internet memberikan padang baru bagi Yahoo, Amazon, Google, Facebook bersaing dengan bisnis “real” yang sudah ada puluhan bahkan ratusan tahun lamanya karena bermain dengan aturan baru.

Seperti juga media sosial dan dunia digital telah mendemokratisasi produksi informasi dari tangan-tangan organisasi dan lembaga media, para penjaga gerbang informasi yang kini berada di tangan konsumen informasi, para Blogger, pengguna Twitter dan Facebook.

Media sosial juga mendemokratisasi dunia aktivisme dan gerakan sosial dari tangan dan kepala para “aktivis” ke tangan anak-anak muda. Dari jalan-jalan aspal membara dan spanduk serta happening art ke komputer-komputer di dalam kamar, serta layar-layar kecil handphone, diantara gosip selebritis, penyebaran hoax dan masalah remaja. Dengan medium-medium baru, dengan aturan-aturan baru.

Aktivisme baru, click activism, dengan alat yang baru meninggalkan ukuran-ukuran aktivisme lama dan tidak bisa dinilai dengan cara lama.

Dan juga.

Tentunya.

Aktivisme, apapun bentuknya.

Jauh lebih baik, daripada apatisme.

Click Activism, lebih baik daripada No Activism.

[hr]

Link sebagai catatan