Hamilton Musical the Movie is here! #hamiltonmovie

I am not throwing away my shot, kata Alexander Hamilton di Teater Musikal ciptaan Lin-Manuel Miranda ini, dan Lin memang benar, kalau setiap ciptaan adalah “shot” yang kita buat, maka ciptaan yang satu ini bener2x ga miss.

Hamilton (musical) adalah sebuah pentas musical yang bercerita tentang Alexander Hamilton, salah seorang founding father Amerika Serikat yang tidak pernah jadi Presiden Amerika tapi adalah seorang Menteri Keuangan pertama dan juga pendiri prinsip dan sistem keuangan Amerika Serikat, wajahnya sampai sekarang masih menghiasi uang kertas $10.

Musical-nya sendiri sudah muncul di Broadway sejak tahun 2015, Lin Manuel Miranda sudah mulai nge-develop musikal ini sejak 2004 waktu dia dapet ide nge-develop Hamilton musikal setelah ngebaca biografi Hamilton waktu dia liburan. Di 2009, Lin udah sempat nyanyiin lagu pertamanya di White House di depan Obama.

Gue udah sempat tahu tentang Hamilton gara-gara tentunya waktu muncul di Broadway Lin-Manuel dan para cast Hamilton lainnya muncul di The Late Show with Stephen Colbert yang memang tiap malem gue tonton (heuheuheu) – dan walaupun penasaran, waktu 2019 sempet ke NY gue ga nonton Hamilton, selain susah dapet tiketnya juga mahaaal heuehue.

Tapi akhirnya keinginan utk nonton ini hadir waktu di 2020 ini akhirnya Hamilton (2020 film) di rilis via streaming di Disney+

Loh terus nontonnya gimana? Naah thank you to US Embassy Jakarta, berkenaan dengan peringatan 4th of July 2020 juga dengan baiknya US Embassy Jakarta ngasih cara utk bisa nonton premiere Hamilton di TV sendiri huehuee.

Dan setelah nonton langsung kesimpulannya memang no 1 adalah Lin-Manuel memang jenius 😀

Hamilton hits all the right notes.

Dari awal memang Hamilton musikal selalu dikabarkan revolusioner, cerita Founding Father Amerika yang diceritakan dengan cara kontemporer dengan tarian, lagu hip hop dan juga para pemeran yang hampir semuanya bukan kulit putih, kalau nggak kulit hitam atau hispanic.

Jadi ceritanya, cerita revolusi Amerika, diceritakan secara revolusioner.

Kedua memang cerita si Alexander Hamilton ini unik banget, seorang “imigrant“, yatim piatu yang lahir di Karibia, berhasil pindah ke New York, jadi tentara, tangan kanan George Washington, Presiden Amerika pertama sampai kemudian akhirnya menjadi Menteri Keuangan pertama.

Itu semua dia lakukan karena kepinterannnya dan keahliannya menuangkan apa yang dia pikirin dalam bentuk tulisan!

Tulisan pertamanya waktu dia umur 17 tentang kotanya yang terdampai badai membuat orang2x ngumpuin duit buat nyekolahin dia ke New York. Tulisan2x dia berikutnya tentang sistem politik Amerika yang merupakan negara baru waktu itu membuat dia terkenal sampai sekarang.

Hamilton musikal ga berenti cerita tentang sejarah Hamilton atau pendirian negara Amerika aja tapi. Hamilton juga bercerita tentang skandal, intrik politik, hubungannya dengan istri dan iparnya, tragedi yang terjadi sama anaknya dan juga tentu pelajaran politik dari tokoh2x politik lainnya yang hadir, George Washinton, Thomas Jefferson, James Madison, sampai ke Schuyler Sisters, pejuang revolusioner dari Perancis, Lafayette daaan yang ga kalah menarik serta ditunggu2x juga kehadiran King George III, Raja Inggris yang waktu itu berkuasa atas Amerika yang masih jadi koloni Inggris, da da da da, dat daya da da da yaaa daaaa.

Hamilton musical, it’s fun, it will make you dance, it’s full of energy, it’s emotional and full of information, no wonder kalau disebut sebagai cultural phenomenon juga, karena message-nya sangat relevan dengan kondisi Amerika sekarang, dengan isu imigran tapi juga bahwa semua orang kalau dia mau dia bisa jadi apa aja. Young, scrappy and hungry.

Mungkin pelajaran sejarah seperti ini yang kita butuhin di Indonesia. Indonesian founding fathers ga kalah kerennya, tapi perspektif dan angle baru dalam melihat mereka, melihat cita-cita dan mimpi mereka yang perlu kita lihat lagi agar kita bisa lebih kenal dengan lebih dekat. Agar tahun ini sesudah 75 tahun Indonesia merdeka kita bisa jatuh cinta lagi dengan Indonesia.

Lin-Manuel mirip dengan Hamilton, sekarang jadi tembah terkenal karena kemampuan dia menulis, merangkai kata-kata dan membuat alunan nada sehingga cerita bisa punya nuasa emosional yang bukan saja dalam tapi juga nempel di kepala.

Kalau Lin-Manuel nggak kehilangan peluangnya dia untuk melakukan sesuatu, not throwing away his shot, maka berbeda di ujung cerita ketika Hamilton justru memilih untuk tidak menembak lawannya dalam sebuah duel, Hamilton justru membuang shot-nya dengan mengarahkan pistolnya ke angkasa sebagai pilihan yang menghormati diri maupun lawannya.

Sayangnya keputusan itu membuat Hamilton akhirnya harus kehilangan nyawa, dan Amerika Serikat harus kehilangan seorang pendiri. Tapi juga membuat kita sekarang, 200 tahun lebih setelah kematian menceritakan lagi ceritanya, mengingatnya lagi ketika dia menyenandungkan dan mengajak utk mengangkat gelas utk kebebasan, RAISE A GLASS TO FREEDOM, sebagai sesuatu yang SIAPAPUN tidak bisa ambil, tidak bisa hilangkan. Something that they can never take away.

Raise a glass to Hamilton!