Ibu lahir di Garut dengan nama Tutti Rochayati Ardiwinata, hari Minggu, 24 Juni. Lahir sebagai anak ke 10 dari 12 bersaudara, anak perempuan ke 5. Waktu Ibu lahir, kakak-kakak yang lain sudah remaja, beranjak dewasa, bahkan sudah ada yang menikah.
Ayahnya, Radio Ardiwinata bekerja di Perum Pegadaian, ibunya, seperti ibu lain di jaman itu adalah ibu rumah tangga, mengepalai keluarga besar dan memastikan semuanya berjalan lancar.
Mengikuti penempatan Aki Radio, keluarga Ardiwinata kemudian pindah ke Bandung dan Ibu pun menghabiskan masa kecilnya, hingga besar, hingga berkeluarga di Bandung.
Sebagai anak urutan ke 10, ibu tumbuh besar dalam lingkungan yang sudah lebih stabil, dikelilingi kakak-kakaknya yang melihatnya sebagai sosok adik baru yang lucu, molek sehingga Ibu punya banyak pelindung.
Ibu tumbuh besar menjadi seorang anak yang aktif, sekretaris di kelas karena tulisannya bagus dan selalu mendapat giliran menulis pelajaran di dinding kelas untuk ditulis ulang oleh seluruh kelas.
Ibu tampak seperti seseorang yang selalu bisa menempatkan diri secara pantas, tidak terlalu menonjol dan selalu mempertimbangkan posisinya di antara yang lain. Dari waktu ke waktu ada keinginan-keinginannya untuk mengambil pilihan yang berbeda, untuk sesaat, tapi lalu dia selalu kembali ke jalurnya, kembali ke normanya.
Setelah tamat SMA, Ibu meneruskan ke Akademi Perawat (AKPER) dengan cita-cita menjadi perawat. Di saat yang bersamaan Ibu juga bergabung ke Resimen Mahasiswa dan Daya Mahasiswa Sunda, di mana di DAMAS ini Ibu diperkenalkan ke seorang mahasiswa ITB dari Medan yang agak unik oleh seorang teman.
Mahasiswa ini meminangnya menjadi istri tidak lama kemudian, dan satu tahun setelah menikah gue lahir.
Ibu pasti berpikir panjang dan ragu saat menerima pinangan itu, gue membayangkan ada banyak calon lain yang juga mendekatinya, dan pilihan untuk menjadi pasangan dengan perbedaan latar belakang, budaya dan mungkin norma bukanlah pilihan yang aman, tapi sesuatu yang Ibu lakukan.
Setelah gue lahir, Farid lahir dalam jarak yang tidak lama, Ibu sempat ditinggal Bapak yang mengambil gelar master ke Bangkok, kita berpindah rumah, ikut ke rumah nenek, ngontrak, membangun rumah sendiri, Willam lahir.
Gue melihat Ibu dan Bapak bertengkar beberapa kali, tapi tidak pernah ada kata kasar. Gue mengingat kita selalu berkecukupan, walau ada masa kita harus lebih berhemat. Gue mengingat kita melakukan kegiatan bersama, tenis di hari minggu, berenang, road trip ke Bali, sekali ke luar negeri.
Bapak bekerja sebagai dosen di ITB, pulang untuk makan siang, dan Ibu lebih banyak di rumah, mengurus rumah dan kami bertiga.
Ada masanya Ibu merasa ada hal lain yang dia bisa kerjakan di luar rumah tanpa mengorbankan tugas-tugasnya sebagai Ibu. Beberapa bulan Ibu pernah bekerja di AKPER dan ini menimbulkan ketegangan sendiri di rumah, tapi pada akhirnya kompromi tercapai dengan Ibu mengejar kegemarannya yang lain sebagai perancang busana dan penjahit.
Bapak membangun ruang baru di rumah, ibu memiliki beberapa pegawai dan mulai menerima pesanan untuk membuat baju untuk keluarga dan teman terdekat. Butik ini diberi nama TS Studio, dan saat paling aktifnya memperkerjakan 5-6 orang, ini kemudian menjadi wahana Ibu untuk berkarya dan juga tempatnya menautkan mimpi-mimpi.
Walau sudah ada kesibukan di rumah Ibu juga aktif berorganisasi. Gue rasa Ibu menikmati bisa punya kenalan banyak dan beraktivitas bersama dengan teman-temannya. Ketika usianya bertambah dan belajar lebih banyak tentang agama, Ibu juga aktif di pengajian dan sering kali diminta menjadi pembawa acara di acara pengajian untuk pernikahan.
Di antara anak-anaknya, gue katanya yang paling mirip sama Ibu, kalau gue suka aktif dalam kegiatan-kegiatan atau organisasi, bisa kalau harus diminta bicara di depan orang atau di media, itu menurun dari Ibu.
Gue ga pernah denger dia mengeluh tentang menjadi seorang ibu atau seorang istri. Gue pernah dengar dan membuat dia nangis beberapa kali. Dan walau gue suka bikin Ibu marah waktu gue kecil, tapi hingga gue dewasa dan punya kehidupan sendiri Ibu nggak pernah bilang “nggak” atau “jangan” sama gue.
Sejak akhir 2018, karena jumlah sel darah putihnya yang tidak normal Ibu didiagnosa dengan Leukemia, tapi karena tidak ada keluhan khusus, hanya periksa lab dan menjaga agar Hb tetap normal maka kita tidak terlalu khawatir dan setengah tidak percaya.
Di 2019, setelah beberapa pemeriksaan lagi, diagnosa berubah menjadi Multiple Myeloma (MM), sejenis kanker darah yang mempengaruhi produksi plasma darah. Di akhir 2019, ibu sempat jatuh dan tangan kirinya patah serta harus digips. Dari hasil rontgen tangannya ini kelihatan ada titik-titik kosong di tulangnya yang membuat tangannya mudah patah saat jatuh, dan memperkuat diagnosa MM-nya
Di Januari 2020, karena dirasa makin ada kesulitan untuk berjalan dan keluhan-keluhan lain, ditambah juga masih tetap harus merawat Bapak yang kesehatannya juga mundur dan harus dibantu, maka gue pikir perlu ada perawatan yang dimulai dengan diagnosa yang lebih pasti.
Setiap Senin gue coba masih di Bandung untuk bawa ibu konsultasi ke dokter, kita sempat melakukan bone scan walau akhirnya agar pasti dokter menyarankan untuk melakukan biopsi tulang.
Sebelum rencana ini terlaksana, karena khawatir proses biopsi tulang memerlukan waktu rawat inap, Ibu jatuh lagi hari Kamis tanggal 27 Februari 2020 malam, kali ini tulang paha kirinya yang patah.
Ibu menjalani operasi pemasangan pen dan 12 hari rawat inap di RS Hasan Sadikin Bandung hingga akhirnya diperkenankan pulang tanggal 10 Maret, hari Sabtunya di tanggal 14 Maret kita merayakan syukuran ibu sudah pulang kembali ke rumah dihadiri oleh teman-teman ibu dan keluarga,
Ibu kelihatan gembira dan bersemangat walau menggunakan kursi roda menunggu kakinya pulih lagi. Seminggu kemudian pandemi Covid-19 sudah merebak dan kita semua memasuki masa karantina.
Sebulan sejak ibu pulang dari RSHS, kondisi ibu turun hingga perlu di bawa ke IGD Borromeus di tanggal 9 April dalam kondisi semua masih khawatir tentang Covid. Hb ibu turun jauh dan butuh transfusi darah. Ibu rawat inap 12 hari di RS Borromeus, tidak bisa dijenguk siapa-siapa dan kita bergantian menunggu.
Ketika akhirnya bisa pulang kondisi Ibu belum membaik, tidak bisa tidur lama, gelisah, ditambah dengan berbagai obat yang diminum, ibu tampak menderita.
Ibu dan bapak dirawat dua orang suster bergantian, alhamdulillah badan Ibu bisa beradaptasi dengan obat kemo yang dimakan dan responnya positif, berangsur kondisinya membaik walau masih agak lemah dan masih harus dibantu. Nafsu makan kembali lagi, sudah bisa membaca Al Qur’an lagi, tidur juga sudah lebih enak.
Sampai ketika sudah cukup kuat di tanggal 23 Juni, Selasa, ibu memulai rangkaian kemo yang disuntikkan seminggu sekali di Klinik Perisai Husada selain juga obat kemo yang dimakan.
Sejak hari itu setiap Selasa, gue dan Suster Wawat mengantar ibu Kemo menjadi ritual sendiri.
Menjemput, mengangkat Ibu ke mobil, memasukkan kursi roda ke mobil, mengantara ke Kemo Lounge Perisai Husada, Ibu biasanya minta dibelikan sop buntut setelah kita selesai dan buah-buahan. Alhamdulillah tapi kondisi Ibu terus ada kemajuan, Ibu sudah bisa bercanda dan konek lagi dengan teman-teman dan keluarga via WhatsApp group.
Di kemo ibu yang ke 15, tanggal 13 Oktober, saat kita dalam perjalanan pulang, Willam yang menunggu Bapak yang kondisinya menurun terus mengabarkan kalau Bapak sudah nggak ada.
Ibu mengucapkan selamat tinggal terakhir di rumah, tidak ikut ke makam karena takut merepotkan menggunakan kursi roda ke pemakaman. Dalam suasana duka, teman dan keluarga yang hadir mengucapkan bela sungkawa ikut menenangkan Ibu. Tugasnya menemani Bapak selama 46 tahun sudah dijalani dengan baik hingga saat terakhirnya.
Ibu masih terus menjalani kemo seminggu sekali dan kondisinya stabil, hingga setelah kemo yang ke 21, besoknya ibu turun lagi kondisinya dan kembali di bawa ke IGD Borromeus untuk ke 2 kalinya di 25 November. Kali ini Multiple Myeloma nya sudah mengganggu fungsi ginjal sehingga Ibu harus menjalani Hemodialysis (HD).
Ibu rawat inap 9 hari di RS Borromeus sebelum pulang ke rumah dalam kondisi yang menurun.
Setelah itu Hemodialysis dilakukan sambil rawat jalan, kadang berselang 2-3 hari hingga seminggu tergantung hasil lab. Dan tampak ada kemajuan karena Ibu sudah mau makan lagi dan kondisinya membaik.
Di HD yang ke 7, tanggal 22 Desember, gue bergantian dengan Farid menunggu proses ibu HD di RS Borromeus dari pagi dan baru selesai menjelang maghrib.
Sampai di rumah, Ibu bilang capek pulang pergi RS, dan waktu gue tinggalin untuk istirahat gue berharap kondisi Ibu nanti akan membaik lagi, sama seperti waktu pertama kali pulang dari Borromeus di bulan April.
Sampai rumah di KBP, mandi dan istirahat sebentar, kita dapat berita kalau Ibu udah nggak ada dan lagi dipastikan.
Gue sama Nita berangkat lagi ke Dago Pojok, dan gue ga bisa ngomong selama perjalanan. Saat gue liat penderitaan Ibu, gue nggak bisa membiarkan diri gue ngerasa karena gue rasanya ga akan kuat.
Malam itu, Ibu udah nggak ada. Badannya ga kuat untuk melawan penyakitnya dan berhenti.
2.5 bulan sejak Bapak pergi, di usia 69 tahun, Ibu menyusul.
Ibu suka bilang sama gue, tugas kita itu hanya dua, “Berusaha dan Berdoa”, kalau usaha sudah kita lakukan, doa sudah kita lakukan maka tugas kita sudah selesai, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.
Gue bener-bener mengira kalau Ibu akan stabil dan pulih lagi kondisinya, gue mengira kalau Ibu bisa melewati 2020, dengan usaha dan berdoa masih ada tahun-tahun ke depan Ibu masih ada bersama kita.
Tapi ternyata nggak.
Enda berhutang semuanya sama Ibu, dan Enda ga bisa nyelamatin Ibu supaya pulih lagi, supaya sehat lagi. Supaya masih ada di sini sama Enda. Enda nggak bisa apa-apa.
Waktu Ibu pergi, sebagian hati Enda pergi juga, meninggalkan lubang kosong yang ga bisa diisi lagi.
Ibu dimakamkan di TPU Sirnaraga Bandung, 50m dari makam Bapak.
Selamat ulang tahun ke 70 Ibu.
sukses terus sebagai bloggernya biar banyak menghasilkan pundi rupiah keluarga
Deepest condolences ya mas Enda. May she rest in peace. Amen…